Kultur Jaringan Aglaonema di Dapur

March 10, 2009 at 3:30 pm | Posted in PERBANYAKAN AGLAONEMA | 52 Comments
Tags:

Quote:”Menurut Edhi, semua jenis tanaman dapat diperbanyak dengan metode ini. Edhi telah berhasil mengkultur nepenthes, aglaonema, dan anggrek. Itu terlihat di ruang inkubasi seluas 2 m x 3 m. Di sana botol-botol berisi eksplan Nepenthes rafflesiana, aglaonema tiara dan widuri, philodendron, serta jati berbaris rapi di rak besi 3 tingkat.”

Kalau aglaonema tiara dan widuri sudah berhasil di KJ, apakah ndak ada kemungkinan untuk meng-KJ aglaonema yang lain ya? stardust, rindu, gadis, red imrpessa dsb?

salam,
tomo

Kultur Jaringan Aglaonema di Dapur

BAGI SEBAGIAN ORANG, TAUGE DAN BUNCIS PALING DIBUAT OSENGOSENG. PISANG UNTUK CUCI MULUT DAN AIR KELAPA BUAT MINUMNYA. NAMUN IR EDHI SANDRA MSI, DI BOGOR, MEMAKAI SEMUA BAHAN ITU SEBAGAI MEDIA KULTUR JARINGAN. PARA PENGHUNI DAPUR ITU MENYULAP UJUNG TUNAS SEPANJANG 3 CM JADI 1.000 TANAMAN.

Semua berawal 14 tahun silam di ruang sempit 2 m x 3 m yang berisi autoclave, laminar, dan botol kultur di rak setinggi 2 m. Di salah satu laboratorium kultur jaringan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, itu Edhi menatap 17 bahan media Murashige dan Skooge (MS) dengan wajah bingung. ‘Harga bahan media MS saja sudah Rp15- juta, belum biaya lainnya,’ kata kepala unit kultur jaringan di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB, itu. Padahal, ketika itu dana yang dimiliki sangat minim.

Ketika itu media MS harus diracik sendiri, belum ada yang dijual dalam bentuk jadi. Untuk membuat media MS 1 liter, mestinya hanya butuh 0,25 mg sodium molybdate, Na2MoO4. Apesnya, bahan itu tak bisa dibeli eceran. Edhi mesti membeli kemasan paling kecil isi 100 g. Harganya Rp690.000. Hormon Thidiazuron 100 mg harganya Rp1,7-juta. Padahal, pemakaian cuma 0,005-0,2 mg/l. CoCl2 25 g Rp1,3-juta, pemakaiannya hanya 0,025 mg/l.

Kegundahan Edhi sirna setelah bertemu mendiang Prof M Yahya Fakuara, guru besar di Fakultas Kehutanan, IPB. ‘Jangan menyerah, gunakan plasma nutfah yang banyak di Indonesia. Jangan mengekor terus dengan teknologi Barat,’ ujar Edhi mengulangi ucapan Yahya. Kata-kata pria yang meraih gelar doktor di University of The Philippines itu membuat pikiran Edhi mengkristal. Ingatannya melayang ke masa kuliah tingkat satu dulu.
Air kelapa

Di tingkat pertama kuliah, 1984, Edhi gemar mengoleksi anggrek. Di dunia anggrek itulah Edhi mengenal air kelapa. Para penganggrek senior yang tak mengenal ilmu pertanian kerap menggunakan air kelapa sebagai campuran media penumbuh biji anggrek dalam botol. Edhi lantas membuka-buka literatur mengenai air kelapa. Ia menemukan air kelapa kaya potasium atau kalium hingga 17%. Dengan kalium tinggi itu, air kelapa merangsang pembungaan anggrek dendrobium dan phalaenopsis. Mineral lain seperti natrium (Na), kalsium (Ca), magnesium (Mg), ferum (Fe), cuprum (Cu), fosfor (P), dan sulfur (S) ada dalam air kelapa.

Air kelapa juga kelompok hormon alami: auksin dan sitokinin. Dalam kultur jaringan auksin berperan memicu terbentuknya kalus, menghambat kerja sitokinin membentuk klorofil dalam kalus, mendorong proses morfogenesis kalus, membentuk akar, dan mendorong proses embriogenesis. Sedangkan sitokinin merangsang pembelahan sel, proliferasi meristem ujung, menghambat pembentukan akar, dan mendorong pembentukan klorofil pada kalus.

Sayang, Edhi tak bisa langsung memakai air kelapa sebagai media kultur jaringan. ‘Komposisi untuk media anggrek dan kultur jaringan berbeda,’ ujar Sarjana Biologi, IPB, itu. Beragam volume air kelapa mulai dari 150 ml, 200 ml, 250 ml, hingga 500 ml per liter media kultur diuji kecocokannya. Empat bulan berselang Edhi mendapat takaran yang pas, 150 ml air kelapa/l media.

Usai meneliti komposisi air kelapa yang pas, Edhi mencari bahan pemasok unsur hara. Lazimnya pada kultur jaringan dipakai bahan proanalis alias senyawa murni. Misalnya KNO3 murni. ‘Karena murni, maka harganya mahal,’ kata ahli fisiologi tanaman itu. Ia lalu mengganti sumber unsur hara dari proanalis dengan teknis (kemurnian rendah, red) yang murah. Misalnya KNO3 murni yang harganya Rp900.000/100 g diganti pupuk NPK yang mudah diperoleh di toko pertanian. Harganya di bawah Rp50.000.
Sayur dari dapur

Namun, itu saja belum cukup, ada 6 penyusun media kultur yang wajib dipenuhi: unsur makro dan mikro, vitamin, sumber energi, bahan organik seperti asam amino dan asam lemak, pemadat, serta hormon. Lagi-lagi demi menghemat biaya Edhi menggunakan pisang ambon sebagai sumber energi di media kuljar. Itu karena anggota famili Musaceae itu mengandung karbohidrat yang berenergi tinggi. Dalam 100 gram berat kering pisang mengandung energi 136 kalori.

Edhi juga menggunakan sayuran taoge dan buncis yang biasa dimasak sang istri sebagai campuran bahan media. Yang disebut pertama mengandung antioksidan, vitamin E, kanavanin-jenis asam amino-, dan hormon auksin. Sementara buncis mengandung protein, karbohidrat, vitamin, serat kasar, dan mineral. Namun, yang paling penting diambil dari buncis adalah sitokinin yang bisa memacu pertumbuhan tunas.

Akhirnya setelah 10 tahun meneliti, Edhi menemukan takaran ideal bahan organik untuk media kultur jaringan. Ia pun membangun laboratorium di rumah tinggalnya di Taman Cimanggu, Bogor.

Sayang, semuanya tak berjalan mulus. Kalus dalam botol kaca mengalami kontaminasi hingga 40-60%. Anehnya terjadi 1-2 bulan setelah eksplan dimasukkan ke dalam botol. ‘Yang parah kontaminasi bisa sampai 80% jika mati lampu,’ kata Ir Hapsiati, sang istri. Maklum, laboratorium di rumah Edhi tak secanggih perusahaan besar. Di perusahaan modern kultur jaringan dilakukan di ruang steril. Pelakunya memakai pakaian khusus. Suhu ruang inkubasi tempat penyimpanan kultur pun stabil, 20oC, lantaran ber-AC. Di tempat Edhi, ruang inkubasi dekat dengan dapur dan tak berpendingin.
Karet gelang

Ayah 3 anak itu lebih berhati-hati mensterilisasi eksplan, botol, dan media. Namun, betapa keras ia jaga kebersihan, bakteri selalu datang. Sampai suatu ketika, awal 2008, pria bertubuh gempal itu terkejut melihat 3 botol berisi eksplan di ruang terbuka di lantai 2 rumahnya malah tumbuh subur. ‘Di sana mereka kehujanan dan kepanasan selama sebulan, tapi tak terkontaminasi bakteri sedikit pun,’ ujar master ilmu pengetahuan kehutanan, IPB, itu. Usut punya usut penutup botol berbeda dengan yang lain. Tutup plastik dobel 3 dengan 30 karet gelang.

Biasanya hanya satu lapis plastik dan diikat 2 karet gelang untuk botol yang ditaruh dalam ruang inkubasi. Rupanya ketika itu Edhi ingin menguatkan tanaman kultur sebelum dikeluarkan dari botol alias hardening. Plastik transparan yang digunakan untuk menutup botol digandakan 3 kali dan ikat dikencangkan dengan 30 karet gelang.

Dari kasus itu Edhi menduga sumber masalah terletak pada kerapatan penutup botol. Ternyata benar, selapis tutup plastik tak bisa menahan tekanan dari luar yang besar. Karet gelang pun memuai jika terkena panas sehingga 2 karet tak cukup kencang. Bila memuai, ikatan kendor. Bakteri pun masuk dan beranak-pinak dalam botol yang kaya hara.

Edhi lalu menambah lapisan plastik penutup botol dan karet gelang. Mulai dari 6, 8, dan seterusnya hingga akhirnya didapat yang benar-benar ideal. Kini ia menggunakan 5 lapis plastik transparan dan 50 karet. Hasilnya, tak ada lagi eksplan yang terkontaminasi meski kucing kesayangan Edhi kerap beristirahat di antara botol-botol berisi eksplan.
Patahkan mitos

Penelitian Edhi mematahkan mitos teknik kultur jaringan berbiaya mahal dan sulit. Dengan cara Edhi yang organik, biaya produksi hanya Rp400/tanaman. Sementara dengan MS dan bahan-bahan murni Rp1.000/tanaman.

Menurut Edhi, semua jenis tanaman dapat diperbanyak dengan metode ini. Edhi telah berhasil mengkultur nepenthes, aglaonema, dan anggrek. Itu terlihat di ruang inkubasi seluas 2 m x 3 m. Di sana botol-botol berisi eksplan Nepenthes rafflesiana, aglaonema tiara dan widuri, philodendron, serta jati berbaris rapi di rak besi 3 tingkat.

Bila jumlah tanaman telah memenuhi kuota, misal 1.000 tanaman, Edhi mengeluarkan dari botol dan menanamnya secara berkelompok dalam pot bermedia campuran sekam bakar dan cocopeat. Maka tanaman hasil kultur jaringan dari dapur siap dipasarkan. (Rosy Nur Apriyanti)

Sumber: http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1697

52 Comments »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. Si usted no entiende la etiqueta, busque a algulen para que se la explique a usted detalle

    (If you do not understand the label, find someone to explain it to you in detail)

    Ganggeng Kanyoet

  2. de acuerdo con usted, que es competente, le ruego que explique los detalles de este cultivo de tejidos?

    ¿El cultivo de tejidos tiene perspectivas utilizadas para difundir Aglaonema?

    Si la escala de los hogares también se desarrolla en Tailandia?

    saludos cordiales
    tomo

  3. Walah.. Mas Tom & Pak GK lagi ngendika krama inggil.. 😀
    Pak GK, apakah ada percobaan baru sobat-nya Pak GK – Mas Wied?
    Semenjak larutan x, asterix dan larutan z, belum ada update lagi
    percobaan2 baru beliau..
    Mudah2an bukan karena harga aglao yg jatuh bebas..

    Salam kangen sharing ilmu Pak GK,
    Faza

  4. Om tomo, mo tanya dikit nih. Dulu saya pernah denger aglo lokal katanya ndak dapat diKJ tapi tenyata widuri ama tiara sudah dapat diKJ kan.yang menjadi pertanyaan saya kenapa kita masih kalah ama thai sono dalam memproduksi aglo lewat KJ, apa kita lebih mengandalkan produksi aglo lewat anakan dan berfikir produksi aglo lewat KJ kurang bagus hasilnya
    salam,

    rachmad31

  5. Pak Dhe Rahmad, nanya kok yang susah-susah lho.. kan dah dibilang sama Mr GK, “jangan melihat dari bungkuse, kalau mau tahu detilnya mintalah Pak ustad yang njelasin”
    Kayake Mr GK salah satu ustad tanaman yang tahu seluk beluk propagasi aglao dengan stek satu mata tunas atau pun malah tissue kultur. Kita tunggu sajah wejangan Mr GK.

    kalau menurut penerawangan saya teknologi itu netral, tidak memilah-milah country of origin, kalau dia bisa di aglao thailand, mestinya ya bisa dilakukan di aglao lokal. apakah itu stek satu mata tunas atau tissue kultur. kalau thai lebih maju dalam propagasi aglao, saya ndak tahu secara pasti kenapa, mungkin teknologi mereka lebih maju, penyilangnya lebih banyak, strategi perkebunannya cenderung mass product dsb-dsbnya.
    Kalau tanaman hasil KJ lebih jelek dari indukannya, wallahu alam, secara teori justru akan sangat mirip dengan indukannya. Mungkin yang perlu disikapi dengan lebih arif, adalah teknologi mungkin akan menghasilkan suatu lompatan yang berpotensi menghasilkan kegagapan budaya, apalagi kalau biasanya kita nyaman dengan zona aglao lokal ndak bisa di KJ karena itu harganya mahal.

    Ada yang tau nasibnya kirana ndak ya?

  6. Hmm…
    Ini desas-desus, boleh percaya boleh tidak…
    Konon, aglao lokal silangan Greg sulit dikuljar karena ada patogen laten di dalam tanaman.
    Artinya, secara umum gejala tak bisa dilihat dengan mata telanjang, tapi sebetulnya sudah terinfeksi…
    Pada tanaman dewasa dan terawat patogen itu tak bisa membunuh dan tidak terlihat gejalanya, tapi pada eksplant mengkontaminasi dan menyebabkan kegagalan…
    Sekali lagi konon, ini justeru menjadi tantangan…

    Salam,

    Destika Cahyana

  7. Salam dari Buitenzorg
    wah, diskusi malam-malam ttg KJ (bukan KD lho) kok semangkin rame lan gayeng yo.
    mas destika, mbok yao, bisa dijelasken secara awam kendala meng-KJ-kan aglo lokal.
    Biar kita-kita yang awam tambah mudeng gitu.
    Matur nuwun

  8. Betul.. makin menarik pak Prawoto,

    Mas Des, issunenya cukup menarik, dan bisa menjadi salah satu alternatif:
    1. dari artikelnya mBak Rossy di trubus bulan ini, Pak Edhi sudah berhasil meng-KJ tiara dan widuri
    2. dari desas-desus, konon aglao lokal ndak bisa di KJ karena ada patogen laten yang tidak mematikan aglao dewasa tapi bisa mengkontaminasi eksplan
    3. dari orang barat sana “The rooting of cuttings and division of basal shoots or suckers are the main methods of Aglaonema propagation since micropropagation (tissue culture) has not been successful with this genus.” [ http://edis.ifas.ufl.edu/EP160 ]

    Ngomong2 kalau berdasarkan perjalan Mas Des atau mBak Rossy ke Pak Edhi dan ke Thailand, propagasi aglao apa yang dilakukan sehingga aglao thailand bisa sedemikian banyak?

    salam,

    tomo

  9. Sekedar nambahin bahan bacaan, sayangnya ndak bisa dibuka full paper, mesti bayar euy 😦
    Sekilas dalam abstract di bawah di sebutkan kalau POS mempunay kromosom 50 [triploid?] , apakah ini karena disisipkan patogen laten? Atau ini yang menyebabkan aglao lokal mandul?
    Wah jangan2 aglao koleksi kita termasuk aglao transgenik nih…

    salam,
    tomo

    BREEDING AND MICROPROPAGATION OF AGLAONEMAAuthors: D.M. Yeh, W.J. Yang, F.C. Chang, M.C. Chung, W.L. Chen, H.W. Huang
    Keywords: Aglaonema, flowering, chromosome, genetic relationship, micropropagation
    Abstract:
    Breeding for Aglaonema (Araceae) cultivars with beautiful foliar variegation and color has long been the prevailing goal. The present works studied on regulation of flowering, chromosome number and genetic relationship to facilitate hybridization. Plants flower within 23 to 48 weeks, depending on the cultivar, following a single spray with 250 ppm gibberellic acid (GA3). RAPD analysis on 61 accessions showed that Aglaonema genotypes are highly diverged and could be clustered into seven groups. Cultivars ‘Curtisii’ and ‘Galaxy’ are diploid (2n = 40), ‘Pride of Sumatra’ and ‘Chalit’s Fantasy’ have 50 and 60 chromosomes, respectively. At least eight dominant alleles each with distinct pattern have been identified. Tissue culture is preferable for rapid multiplication of healthy plants. The inflorescence was an alternative source of explants to reduce endogenous microbial contamination, and the suggested cultural medium was half-strength MS basal medium with 5 to 10 μM Dicamba and 10 μM TDZ for direct shooting. After transferring to a shaded greenhouse, plants under 130 μmol.m-2.s-1 during ex vitro acclimatization had higher dry weight than those under 80 or 200 μmol.m-2.s-1. http://www.actahort.org/members/showpdf?booknrarnr=755_10

  10. Este es un problema de comercialización, de manera que las personas interesadas en unirse a KJ.

    Sebenare KJ bukanlah ‘science’ atau ilmu. Ia tak lebih hanya sebuah ‘art’ dalam biologi yang sangat berguna bagi yang ingin bercocok tanam by micro/molukuler sifatnya. Lebih tepatnya ‘seni coba2’ mirip meracik media tanam dan pupuknya dalam pot – tapi jangan diterjemahken seni = tanpa etung2an lho ……
    Sesuai sifat bangsa kita yang ‘ndergil’, ‘poukil’, ‘kreatif’ (kaluk kepepet), ada peluang besar RI menjadi negara KJ terbesar di dunia dan menjadiken KJ sebagai sumber devisa negara. Anjuran saya, kaluk Anda pengin hasil sampingan melebihi penghasilan pokok – jangan lewatken kursus2 KJ yg banyak ditawarken akhir2 ini. Bisa ke Mr. Edi, Prof. Novi, UAJ, UPN atau ke Tekno. Kaluk di China banyak industri motor, plywood, mesin etc, etc skala rumahan – kenapa di Indonesia ndak KJ skala rumahan ?
    Lokal kok jarang KJ ?
    Ada beberapa alasan pokok. Pertama, karena bangsa kita ndak mau repot, males, pengin cepat untung, berpikir jangka pendek semata. Lebih seneng ‘mburu rente’ daripada menjadi industrialis. Saya ndak mau men-duga2 apa yang terdapat di dalam agalo Mr. GH. Secara sederhana lebih gampang disebut: memang belum ketemu racikan media KJ yang tepat untuknya.
    Kedua, tidak semua aglao layak KJ. Di Thai jugak gitu – hanya yang memenuhi kriteria tertentu saja yang di KJ kan. Alasannya simple – Net Present Valuenya positip. Ini biasa didapat dari aglo2 yang ‘novel’ sifatnya dan mudah dirawat.
    Maaf kaluk saya punya anggapan bahwa sampai kini aglao lokal sebenare hanya just another Tiara …… ho ho hoho. Cubak buktiken, saat Anda beli lokalan – selain TIARA pasti lebih sering makek telinga dan mulut dibanding mata dalam menikmati dan membeli keindahannya.

    Ganggeng Kanyoet

  11. Salam dari Buitenzorg
    Kamsudnya (eh….maksudnya) mbah GK teh, aglo-aglo lain merupakan turunan corak Tiara gitu ?
    Atau pigimana, kok ada istilah ………just Tiara…….. ki pise toch.
    Mbah GK, ane sich pengin belajar KJ, bahken udah ngikut kursusnya, tapinya kok investasi alat-alatnya muahal-muahal. Mas Mulyono Tea pernah cubak-cubak memodifikasi salah satu alat yang untuk langseng itu loh. Tapi nyang laennya khan masih larang.
    Dadinya untuk sekala RT (rumah tangga) kok ya belum terjangkau gitu mbah.

  12. Just another Tiara .. kayak’e maksudnya nda beda2 amat dgn Tiara .. gitu lho pakde woto .. ditilik dari penampilan dan lain2 kebanyakan aglao silangan lokal memang nda beda2 jauh , pasti mirip2 .. mungkin lho.. iya nda mbah GK…

    pengen seeh belajar KJ , cuma sekarang belajar bikin fermentasi saja dah kerepotan ama tempat yg cuma seuprit , blum lagi masih keteteran nyari cara ngurus yg bener yg masih terus coba-coba .. bagusan saya mah lupakan dulu soal KJ , ilmune belum nyampe sampe kesana .. pesimis yak.. nda sih , cuma realistis aja.. hehehehehehehehehe blum mampu neeh

    salam

    anton

  13. Saya pun tersengat dengan kata-kata just another tiara. Emang sudah berapa banyak koleksi aglo lokal Mbah GK? Apakah memakai mata awam atau memakai mata kolektor untuk menilainya? Apakah memang sosok mutiara, sama dengan tiara? Bagaimana dengan madame soeroyo? widuri? tipe rubi? tipe lipstick? dll. Kami baru memamerkan 70 aglaonema lokal dari sekitar 150 silangan lokal. Memang banyak pengunjung awam aglaonema pun berkomentar sama. Apa bedanya adelia dengan reina? Lisa dengan Nina, dll.
    Kalo memang ada yang mirip, wajar toh? memang bersaudara satu induk satu bapak. Wajar paulina mirip dengan illumination. Wajar juga kalo Molek mirip dengan Jasmine. Bahkan terakhir, Greg Hambali, mengakui kalau dia salah hanya memberi satu nama untuk Donna Carmen untuk aglaonema yang disilang pada 1986 . Padahal, donna carmen bersaudara ada banyak dengan varian berbeda. Ada tangkai panjang, pendek, dominan hijau, dll.
    Bahwa, aglaonema lokal masih sulit diperbanyak dengan sistem kj. Justru di situlah kelebihan silangan Greg Hambali. Jadi tidak mudah meledak untuk kemudian tenggelam. Sekadar informasi, (setelah Mbah lama di tanah Suci), sekarang ini kebanyakan pekebun lokal “banting setir” memperbanyak (mengebunkan) aglao lokal, Kenapa? Tentu karena lebih prospek ketimbang yang impor. Aglaonema impor hanya mainan para importir, pedagang, dan konsumen. Belum terdengar ada yang mengebunkan aglao asal Thailand skala luas.
    Bahkan, justru pekebun di Thailand pun (Pairoj dkk), telah mengebunkan Widuri dan Tiara dengan skala luas. Tidak tanggung-tanggung jumlahnya telah mencapai 50.000 pot per item (dan siap dipasarkan). Sistimnya pun bukan KJ, tapi pisah anakan. Kenapa dia mau dan tidak malu memperbanyak aglaonema indonesia? dan dia tidak menunggu hingga ditemukan media yang cocok untuk KJ. Tentunya karena prospek aglaonema Indonesia lebih cerah.

    Salam damai

    Angkasa Syamsu

  14. Salam dari Buitenzorg
    Bang Angkasa, tersengat ama kumbang beda loh rasanya. Amit-amit, jangan sampai ya. Bisa panas dingin. Damai di bumi.

  15. Waduuh waduuh mas angkasa don’t nesu duoonggg…

    Mirip ya wajar , lha wong aglao thai sing mirip juga ra pirang-pirang…jenenge we yg sama . Dimanapun akan seperti itu , dimanapun semua orang boleh komentar , dimanapun semua boleh ngasih pandangan .. iya nda .. jadi bukankah sebuah kewajaran memang sedang terjadi disini

    Bahwa, aglaonema lokal masih sulit diperbanyak dengan sistem kj. Justru di situlah kelebihan silangan Greg Hambali

    Komentar : kelebihan atau juga kekurangan atau dua-duanya .. kenyataan dari satu sisi , kelebihan krn sulit diperbanyak jadi menguntungkan pedagang dan pemilik aglao lokalan , kekurangan tidak merakyat dan sulit terjangkau oleh semua orang . Tinggal sisi mana mas angkasa atau rekans mau ambil .. Bila tujuannya agar bisa dinikmati banyak orang , aglao silangan lokal punya kelemahan krn sulit diperbanyak secara masal dgn cara KJ.. so silakan pilih mana yg anda suka

    Sekadar informasi, (setelah Mbah lama di tanah Suci), sekarang ini kebanyakan pekebun lokal “banting setir” memperbanyak (mengebunkan) aglao lokal,Kenapa? Tentu karena lebih prospek ketimbang yang impor

    Istilah prospek , sakbenere .. semua jenis barang , nda cuma aglao punya prospek .. tinggal orangnya yg bisa memanfaatkan atau mencari kesempatan untuk memanfaatkan prospek itu bagi keuntungan dirinya . Sampah bagi orang kota cuma sesuatu yg merepotkan dan menjijikkan , tapi di tangan orang yg kreatif sampah menjadi sesuatu yg berprospek cerah .. so bila prospek dalam hal ini maksudnya “keuntungan lebih besar” , bisa jadi ya..bisa jadi nda.. kenyataan bahwa banyak rekans pedagang mengeluhkan turunnya harga aglao lokalan , lalu prospek cerahnya dimana ya mas angkasa..akan lebih afdol bila disebutkan jumlah dan persentase petani aglao yg beralih dari aglao interlokal ke aglao lokalan .. juga pasar yang akan menyerapnya seberapa besar… berapa kisaran keuntungan yg didapat dll.. baru bisa dianalisa seberapa cerah aglao masa depan aglao lokalan ..

    Belum terdengar ada yang mengebunkan aglao asal Thailand skala luas.

    Cuma simple kok mas .. perhitungan dagang .. dengan membanjirnya dan begitu mudahnya menternakan aglao interlokal , untuk apa mengebunkan aglao interlokal secara luas di dalam negeri .. lha wong tinggal datengin importir , kemudian barang ada.. tinggal itung aja selisih margin yg diambil .. pertanyaan seharusnya juga dibalik dikit , kenapa petani2 aglao thai kok tetap membanjiri pasar Indonesia dgn aglao2 mrk .. jawabnya sebenernya sederhana juga , krn mereka melihat prospek untuk aglao2 mereka .. nah lho…

    Tidak tanggung-tanggung jumlahnya telah mencapai 50.000 pot per item (dan siap dipasarkan). Sistimnya pun bukan KJ, tapi pisah anakan. Kenapa dia mau dan tidak malu memperbanyak aglaonema indonesia?Tentunya karena prospek aglaonema Indonesia lebih cerah.
    Ndak juga mas.. kecuali mas bisa menyempitkan batasan prospeknya .. aglao2 thai tetap dicari , baik oleh hobbyist , kolektor , sampe ibu2 dan bapak2 RT yang masih mau beli POS , Kochin dll … Kalu 50,000 pot tiara dan widuri ex thailand masuk , pertanyaannya apakah para petani lokal akan tetap menganggap menternakan keduanya krn berprospek cerah …. so mengatakan bahwa aglaonema lokalan berprospek lebih cerah adalah prematur menurut saya kalu tanpa itung2an dagang , pasar dll

    Aglaonema impor hanya mainan para importir, pedagang, dan konsumen

    Nah mas angkasa bikin saya bingung .. lalu aglao lokalan emang bukan mainan pedagang dan konsumen .. lalu istilah berprospeknya dari segi apa toh.. bukannya nanti aglao lokalan juga akan jadi mainan importir , pedagang dan konsumen .. trus lha kalu konsumen nda dilibatkan , lalu itu lokalan yg dikebunkan buat apa toh mas , kalu bukan buat pedagang nyari untung , tuh tiara buat diliatin aja ya mas.. hehehehehehehehehe ..

    Kami baru memamerkan 70 aglaonema lokal dari sekitar 150 silangan lokal

    silangan bogor kalee mass… hahahahahahahahaha.. bukan silangan lokal , soale saya nda liat ada silangan antara donna carmen dan silver bay hasil silangan urang bogor , tapi masalahnya cuma ada di lapak pinggir jalan Ahmad Yani Bogor..
    ehhh ntar jadi silangan bogor juga yak…

    salamdamaipecintaaglaoentahlokalentahinterlokalyangpentingaglao

    anton

  16. ada sedikit yang nyangkut di dengkul saya, apakah perkebunan aglao bisa dimasukkan ke kategori industri, dengan perhitungan bahan baku, proses produksi dan marketing produk jadinya.
    kenapa aglao thai bisa lebih murah dari aglao lokal ? seandainya aglao lokal diperbanyak di thai dan kembali lagi ke dalam negeri, dan bisa lebih murah dari hasil budidaya tradisional, siapa yang diuntungkan?
    kalu di thai kabarnya bisa memecah tunas menjadi 4 anakan, harusnyanya disini bisa, kan banyak sekolah tinggi ilmu pertanian dan riset-riset yang dibiayai negara.

    salam
    dody

  17. Salam dari Buitenzorg
    Kang Anton, nyang lebih ciamik, kalo bisa nyilangin aglo (entah lokal, entah interlokal) dengan kunang-kunang.
    Biar kalau malam hari tanpa bantuan lampu, aglo-nya berpendar-pendar.
    Apalagi kalau ditabrak kucing, bisa berpendar juga kepala, kerna mumet bin stress.
    Ojo nesu loh. Canda ajaaaahhhhhhhh (saingan mas dapid aja deh)
    Kamarenong nyak mas Dapid teh.
    Hooooooooooooiiiiiiiiiiiii mas Dapid kemane aje ?

  18. Bisa mas dody , pertanian pun harus tetap ada hitung2an dan kalkulasi production cost , harga jual dll. Kalu tidak bisa dihitung keenakan konsumen , untung teruusss.. lha wong petaninya nda tau biaya produksi .. jadi tawar aja sampai serendah mungkin ..

    yang seneng denger banyaknya widuri atau tiara tersedia , ya saya mas , dan kayaknya masih banyak saya2 yang lain karena bisa mendapat aglao lokalan dengan kantong yg cukup cekak . Aglao thai bisa murah karena ada yg berpandangan bahwa harga murah tidak berarti rugi .. silakan mas itung ndiri deh kalu beli tiara 15 daun sepohon pada lebel harga 1 jt/daun .. trus diternakkan dengan cara normal 4-5 anakan setahun , trus tuh anakan jadi indukan lagi ..punya anak lagi…(syarat nda mati) .. kira2 akan rugi nda ya dalam waktu dua tahun (pada saat harga drop 200 ribu/daun) … blum diitung cara potong pucuk ..hanya tinggal waktunya saja yang kapan BEP dan kapan ROI..penurunan harga bisa tercover dgn jumlah hasil produksi ..produksi skala yang massal juga menguntungkan .. saya rasa itu yg dilakukan kangmas pairoj .. yaitu memanfaatkan pasar yg nda digarap oleh para petani aglao lokalan , pasar yang luas dan tidak exclusive ..

    salam

    anton

  19. Mas Angkasa,
    kalau saat ini Pairoj mempunyai 50 ribu tiara hasil dari anakan yang saat ini siap edar, dengan asumsi setiap pohon menghasilkan 12 anakan/ tahun cmiiw,
    berarti pada saat tiara di release pada kelas 2004, Pairoj langsung memborong kira2 30 pot yang dia jadikan indukan pada 2005, dan dia sejak itu hanya mengembangkan saja tanpa menjual satu pun.
    Apakah tidak ada metode propagasi yang lain yang mungkin digunakan oleh Pak Pairoj untuk memperbanyak tiara [dan widuri]?

    Kenapa ya Pak pairoj ini menimbun tiara sampai harga terkoreksi cukup tajam sekarang, ndak merealease-nya kemarin2 waktu harga masih GGN?

    Mohon pencerahannya

    salam,
    tomo

  20. Salam dari Buitenzorg
    Masalah produk pertanian (kalau boleh make istilah itu), sebetulnya tidak hanya aglaonema saja.
    Banyak produk pertanian, yang kata sahibul hikayat, asalnya juga dari Indonesia.
    Indonesia terkenal dengan kekayaan sda-nya. Ada durian, ada jambu, bahkan kedelai-pun, ada beberapa yang penyilangnya orang Indonesia, tapi justru yang menikmati malah Thailand. Kerbau punya susu sapi punya nama. Jadi, salahnya di mana ?
    Memang benar, di Indonesia banyak para pakar pertanian, banyak hasil penelitian pertanian, tapi kok ya para petani-nya (petani sayur mayur, petani tanaman hias, petani lainnya) tetap kismin ya ?
    Mungkin mbah GK, mas Tomo, tahu jawabnya. Asal jangan suruh tanya pada rumput yang bergoyang.

  21. Mas Tomo (ada 2 Tomo nih)
    Kemarin-kemarin ada yang posting khan kalo di sana 1 mata tunas, bisa menghasilkan 3–4 anakan. Jadi tidak seprti kita yang 1 mata tunas hanya menghasislkan 1–2 anakan. Itu pun kalo tidak keburu dicengkram bung Erwin (ia).

  22. Mas tomo..

    Kayaknya lebihd dari 30 deh .. kalu pake itungan anakan normal maks 4-5 aja dgn periode sekitar 4 tahun menternakan seharusnya butuh kira2 80-100 pot indukan ..tahun 2004 100 pot , tahun 2005 jadi 600 pot , tahun 2006 jadi 3,000 pot , tahun 2007 jadi 15,000 pot , tahun 2008 jadi sekitar 60 ribu ..

    kalu cuma 30 tahun 2004 , dgn itungan yg sama 2005 jadi 180 pot , 2006 jadi 900 pot , 2007 jadi 4500 , 2008 jadi 22500 pot ..

    hehehehe itung2an kasar lho ya , blum termasuk yg potong pucuk , setek bonggol , cacah bonggol sedaun ..atau ternyata si kangmas pairoj beli 50 pot indukan dll…

    Ada dua kemungkinan dugaan saya mas kenapa nda dilepas pada saat harga tinggi

    a) seperti kata mas dian , keinginan untuk menarik aglao lokalan dari singgasana “exclusive” dan menjadikannya sama dengan aglao2 thai . Masalah perang image

    b) menguasai pasar karena dia tahu bahwa aglao2 ini tidak diternakan secara massal di Indon . Jadi dengan jumlah yg audzubillah banyaknya , akan sulit disaingi oleh para peternak lokalan . Dengan mengusai share pasar yg semakin besar , otomatis dia bisa mengontrol harga pasar yg dia mau .. Kalau dilepas di tahun 2006 waktu harga menggila , itu hanya akan jadi hit and run , tidak bisa mengontrol pasar krn dia nda punya senjata cukup buat menguasai pasar Indonesia

    c) keuntungan yg lebih besar .. walau margin perpotnya sangat kecil dibandingkan dengan kalau dia menjual hasil ternaknya di tahun 2006 pada saat harga tinggi , tapi secara total dia akan dapet berlipet ganda kalau dgn jumlah 50 rebu
    Kasarnya say dia beli tiara 10 daun dgn harga 5 jt perdaun sebanyak 30 pot .. jadi modal yg dikeluarin 30 x 10 x 5 jt = 1,500,000,000 . tahun 2005 180 pot .. harga masih 5 jt per daun lah 180 X 10 X 5jt = 9,000,000,000 ..nah sekarang dia punya 22,500 pot (itungan kalu beli tiara 30 pot doang) asumsi dgn masing2 10 daun dan harga sekarang 200 rebu ..
    mbuh bener ndanya itungan ini .. soale banyak data yg kira2 saja…

    menurut saya gitu mas..

    salam

    anton

  23. Heheheheh……jawaban ane teteeeeepppppp……be a collector, be a grower, be a dodoler……kekekekek……brani beli mahal terus jual murah…….jalannya lewat mana…..monggo dipilih masih banyak jalan menuju aglao heheheheh………mau KJ…mau pisah anakan atau jalan laen yang tiap orang bisa beda dengan hasil yang paling tidak hampir sama……yang mana yang prospek……ya paling ngga aglao yang kita punya mana yang cepet laku…mo lebih luas lagi ya kerjain penelitian segmentasi pasar……mau dipilah lagi…..segmentasi ditingkat kolektor, konsumen ato pedagang……monggo aja mas, om, mba…..silahken dipilih…dipilih……gratis kaga bayar…..kalu bogor masuk lokal apa interlokal ya kang hehehehehe……kayanya buat ane masuk interlokal deh kekekekekekek……

    salam,
    Yendi

  24. Mas Angkasa,
    kalau tidak salah salah satu produk lokal yang abrusan di release Astuti sebanyak 80 pot, cmiiw,
    kira-kira ini diperbanyak dengan metode orang thailand atau dengan klasik ala kita yang menghasilkan anakan lebih sedikit?

    Satu lagi, kenapa Pak Pairoj milihnya tiara sama widuri? Kebetulan ataukah memang dia mempunyai isnting bisnis bahwa kedua jenis aglao ini yang bakal menguasai pasar becek seperti POS?
    Ups, nambah lagi, kalau Pak Pairoj bisa mengebunkan tiara dan widuri, apakah ada jaminan kalau dia tidak bisa mengebunkan, misale harlequin atau sexy pink? Atau release terbaru dari aglao lokal sudah diintroduksi gen yang tidak bisa diperbanyak dengan stek satu mata tunas?
    Sohibnya Pak GK, dan teman Mas Angkasa di Jogja…. yang latar fotonya seperti dapur, kayake dulu dah berhasil memperbanyak adelia dengan stek ini deh.

  25. wakakakakakak.. abis nda enak nyebut nama , soale ntar disangka estimen sih kang yen .. soale sama2 di bogor , tapi sing siji dipestain , sedangkan yg laen tenggelam dalam kesunyian menjadi no name .. wakakakakakaka padahal sama2 silangan eks lokal , tapi krn satu dan laen hal silangan yg ane temuin menjadi silangan interlokal.. bener juga tuh…pertanyaan kok bisa yah ada silangan lokal yg non branded kelewat nda ikut dipestain kemaren..apa memang nda poantess yaa…

    tulllll.. setujuuu…

    salam

    anton

  26. Mas Aki,
    asumsi harga awal tiarany kemahalan kalau 5 jt… itu kalau belinya setela harga tiara di trading up.
    sekitar agustus 2005, saya masih ditawari tiara 750K/ daun dengan jumlah daun minimal 5, widuri pun sekitar itu harganya, di pameran flona tahun itu ada yang jual 3 daun 2,25 jt, sayang ndak punya duit baik untuk beli tiara maupun widurinya 😀
    Dan waktu di banteng tahun itu, ada desas desus widuri di boyong ke thailand, namanya juga issu.. jangan dianggap benar…

    Kalau itung2an Mas Aki diganti dengan modalnya 1 jt/ daun 4 tahun lalu, dengan harga jual sekarang kayake masih glek-glek nyaem2 lhoh ..

    salam,
    tomo

  27. pesta dan nda pesta…..kalu ada hubungan yang pasti ada timbal balik yang positif….boso gaule..(bukan gauli ya Kang heheh…)….ada simbiosis mutualisma antar pihak…..kaya lomba kemarin juga masing2 ane yakin dah ngambil porsi positipnya masing2…..heheheh…..kaya ane bisa dodolan tanpa harus sewa stan….cuman donasi aja buat ya jaga warung yang nilainya jauh lebih kecil daripa sewa stan…..buat SBL dan Trubus ya monggo ditanya sendiri apa postipnya yang sudah didapat…………jadi ane pikir ya sama2 enak…AI dapet stan gratis…orang2 milis bisa dodolan tanpa bayar stan…acara Trubus sukses…..SBL mungkin tambah promosi….hehehehe….jadi semua dapet porsinya masing2….

  28. Ikutan ah diskusi orang2 pinter…. Siapa tau ketepa biar IQ naek dikit….

    Point mas angkasa soal “belum terdengar ada yg mengebunkan aglao thai secara skala luas”… Aaaahhh masa iya mas ?

    Thn 2007 saya pernah main ke tempat Ukay di Rw Belong…. Msh berjejer macem2 aglao lokal n Thai di raknya (uuuhh sampe skrg msh nyesel knp Red Imelda dashyat nda tak boyong yaa….) Yg harganya jg relatif tinggi….. Tapi waktu ketemu di lap banteng thn lalu saya nanya kpd Deden…. Ooy Den… Kok Ukay skrg jualan aglao khatrok gini siy ? Mosok cuma Lady V, Dud, Heng2 en sekelasnya ? Aaahhh saya ke sawangan ajah liat kebon disana yaa ?

    Kata si Deden…. Whaaa disana emang cuma nanem beginian bu…. Lbh untung jualan aglao murce drpd aglao yg jut2an…. Jd ribuan meter kebon di sawangan jg hanya buat Lady V, Heng2 dll…….

    Begitulah mas angkasa…. Msg2 pedagang punya segmentasi pasar sendiri2, punya visi masing2…. En kebun ribuan meter milik Pak Ukay di sawangan siy menurut saya termasuk besar….. Mungkin juga nda begitu di mata Mas…. Maklumlah saya cm hobbyist ecek2…..hihihihihi

    Regards

  29. lha ya maklum toh kang tomo , aku kan baru bisa beli tiara aja tahun ini.. jadi nda weruh sejarah’e neng tiara .. maksudnya kan sebagai ilustrasi aja lho kang , bahkan dgn beli pada saat termahal , kemudian dipadukan dengan tehnik produksi yg tepat dan kemudian diakhiri dgn strategi pemasaran yg tepat .. nda berarti akan jadi rugi ..

    kalu diganti jadi 1jt/daun mah ya.. bayangin aja deh .. biar harga tuh turun sampe 100 rebu sedaun juga masih glek glek assoyyy dah …

  30. Mas Anton,
    Saya mungkin tidak bisa memberi berapa angka konkritnya pekebun kita yang meninggalkan aglao Thailand untuk mengembangkan aglao lokal. Juga tidak etis menyebut nama pekebun itu. Namun, itu menjadi gambaran bahwa, aglaonema lokal lebih disukai untuk dipelihara jangka panjang ketimbang aglaonema impor.

    Mungkin Mas Anton sering mendengar, aglao impor yang baru datang sering kehilangan 2–3 lembar daun sebelum mulai hidup? Apakah hal yang sama terjadi pada aglo lokal? Karena aglo lokal lebih vigor, wajar bila harga lebih tinggi. (Bandingannya sama-sama POS). Kenapa eh kenapa? kata mas Woto, jangan tanya pada rumput yang bergoyang.

    Indonesia, telah mengimpor jutaan pohon aglaonema? Pada pertengahan 2007, saya dapat info mencapai 2 juta pohon? Kalo memang cukup kuat daya hidupnya, mestinya sudah bisa dijumpai dimana-mana. Apalagi sampai sekarang pun impor masih jalan terus. Lady val masih jarang tuh dijumpai di rumah-rumah. Pada kemana pohon-pohon itu. Di duga kuat sudah ada di tempat sampah. Bandingkan dengan donna carmen atau POS. Emang keduanya jauh lebih dahulu lahir. Tapi khan meledaknya baru 4–5 tahun terakhir sama dengan aglo Thai.

    Aglaonema lokal selalu dicap mahal. Tetapi mahal tidaknya khan tergantung hukum ekonomi. Barang kurang, harga tinggi. Kalo sudah melimpah jadi rendah. Siam aurora, 2 tahun lalu masih Rp500.000–750.000/pot. Sekarang, rp35.000 masih bisa ditawar. Legacy, Rp 1.250.000/pot, sekarang Rp125.000/pot. . Petit dulu masih Rp 3-juta, Sekarang Rp 150.000–300.000/pot. Wajar aja. Karena stok memang sudah banyak. Kalo memang stok terbatas, tidak pandang lokal atau impor tetap aja mahal. Gadis dan Rindu yang dari Thailand tetap aja harganya tidak lebih murah dibanding Widuri dan Tiara.
    Saya baru saja ngomong dengan seorang pekebun senior. Katanya 5 tahun lalu beli red hot chilly pepper 40 juta, sampai sekarang 5 juta belum masuk. Juga cerita Red … metalic, Rp 40-juta, sampai sekarang belum masuk Rp 2 juta. padahal aglo itu sekarang dijual Rp250.000-350.000/pot.
    Mungkin juga Mas Anton, sudah pernah mendengar, orang membeli aglo, yang oleh orang sana (Thailand) diiming-iming, satu satunya karena asal biji. Tergiur dengan kata-kata satu-satunya, akhirnya orang kita itu beli dengan harga mahal tentu. Ternyata tidak sampai 3 bulan, sudah muncul lagi puluhan aglo sejenis. Saya dengar sendiri seorang hobiis memberi aglonya Artemis leony, karena dibeli dari biji. Ternyata aglao yang sama sudah ada pula di Indonesia dan pernah dipajang dimilis ini.
    Dsb, dsb.

    Salam

  31. Mas Tomo,
    Saya belum tahu sudah berapa Astuti yang keluar. Tapi waktu launching sih yang terjual 29 paket (isi 2 pot). Sekadar info, Astuti, tipe kecil, yang biasanya lebih rajin beranak ketimbang yang besar. Beberapa pemain sudah ada yang bisa menghasilkan secara cepat dengan teknik konvensional. dari omongan orang-orang, Harlequin mungkin akan diecer tahun depan. Di situlah ‘perang” sesungguhnya. Dengan teknik ‘konvensional” yang dimodivikasi, saya mulai menjagokan orang kita. Semoga mereka berhasil.

    salam
    Mulai ragu, Mas Tomo ini sama dengan tomo di Riau n Yogya?

  32. Uni, itu yang saya lupa. Baru ingat setelah send. Yach telat. Thanks berat. (Ngintip di sekoci yah). he he he. Di Ntul juga masih ada. Satu lagi yang lupa, legacy juga sudah ditanam besar-besaran.. Mestinya tahun ini tidak perlu impor lagi. Kemarin di pameran, ada pekebun aglo Thai yang kebanting. Sayur mayurnya gak laku di Cibubur. Dibanting oleh yang impor. (Baru datang, tanam di pot, jual).

    salam

  33. Banyak juga info dan ilmu yang didapet dengan sekedar ngobrol dan cubit2an di stand2 aglaos di aneka pameran dan nurseries mas Angkasa, mereka2 yg menjaga stand spt deden, myrza, pak haji ato Ali di nursery nya lbh memiliki data akurat ttg apa yg lg trend, apa yg laku (biar ga trendy) n marketing strategies drpd sekedar pembicaraan terbatas mengenai aglao2 bangsawan yg tdk tergapai oleh kocek awak yg dangkal ini hehehehhehe…..

    Regards

  34. Kocek boleh dangkal. Tapi isinya bok. Ada mutiara, ada ruby. Ada unyamanee (permata), Ia khan Uni?

  35. Om angkasa apakah itu bisa juga dibilang pedagang musiman, yg tugasnya hanya mengimportir aglo dikala ada event/pameran saja.sebab kalo membudidayakan aglo thai diindonesia kemudian dijual rasa2nya akan kalah bersaing dgn aglo thai yg baru dateng kemudian dijual, soalnya lebih murah yg baru dateng dari thai. Jelas aja kebanting ama yg baru dateng, mentok2nya 3limpul mendingan ama yg baru dateng tinggal tanya berapa harganya tawar dapet deh 1pot legacy, cuma 2limpul 7-8daun akar juga udah lumayan banyak.

    Salam,
    rachmad31
    ygbarusanggupbelilegacy

  36. Barangkali adagium klasik maen aglo lokal mesti untung adalah paradigma keramat yang disruput Resi Pairoj. Kemudian salah satu manifestasinya 50 ribu pots Tango / Whiskey yg siap pasar. Lha njur mo dipasarin ke konsumen mana, domestik Thai? US? Afro? Euro? Middle East? ..

    Kaluk mbalik ke sini(sepertinya kok gitu – negara mana yg sanggup menggilai aglo selain sini :-), setidaknya anggep aja kita nyumbang devisa ke Thai, itung2 mbantu meng-kaya-ken temen2 grower disana juga..

    Lha nangsib grower2 tradisional kita disini piye?.. Apalagi yang kulakan aglo lokal dulu misik harga pertamax kerna terhipnotis dgn prospek yg dihembusken adagium klasik tsb.. However, at the end, mungkin yg paling diuntungken adalah konsumen(yg sanggup nahan birahi, nda kemakan isu & beli paling terakhir, apalagi yg dapet aglo dari suvenir hajatan, mau dwonk.. hehe.. :-)..

    salam,
    Judi

  37. Mas Aki, Budhe Uni dan Budhe Teteh…..ctata ya Harlequin akan diecer tahun depan…. kumpulin duit dari sekarang dan jangan dihambur-hamburkan.

    Kok istilahnya perang to Mas Angkasa?
    Sebagai hobbyst, saya sih netral-netral sajah, kalau budget saya cuman sejuta per bulan, dulu dapat legaci sekarang dapat widuri, ya saya beli yang sesuai dengan budget. Saya rasa beberapa orang yang sekarang fanatik dengan lokal, dan berkhotbah tentang nasionalisme aglao lokal juga berawal dari aglao thailand kok koleksinya, dan senior semacam Bu Royo juga ngoleksi thailand lho, mungkin sampai sekarang.

    Eh bocorannya dunk Mas, berapa harga eceran terendah HQ tahun depan?

    imho, kalau astuti mudah beranak dan sudah keluar 58 pohon, bentar lagi pasar lokal akan banjir astuti lho, apalagi dengan teknik konvensional yang dimodifikasi, wong HQ yang 2 tahun di irene flora konon ndak banyak beranak sajah tahun depan akan diecer…. ayuk siapa mau siap2 borong aglao lokal dengan price murah?

  38. Susah ngomongnya nih. Ntar saya bilang makanya usahakan yang lokal, pada bilang harga gak terjangkau. mahal, dsb dsb. Sebenarnya, pekebun aglo Thai lokal itu bisa menjual dengan harga lebih rendah. Wong, biasa produksinya rendah kok. Rp 15.000 aja sudah untung. Umur 1–2 bulan khan belum butuh pupuk. Sayang ia bertahan pada angka Rp25.000–35.000. Rupanya dia terobsesi dengan harga dulu. Atau mungkin memilih menahan untuk dijadikan indukan. Semoga tidak jadi lalap aja. (Maksudnya dilalap ulat).
    Salam

  39. Mas Tomo
    Di ecernya masih di Plaza Senayan, Plaza Indonesia. Belum di pasar becek. Jadi kalo mau punya HQ, kita tunggu 5–10 tahun lagi mas. Maksud perang, disini adalah adu cepat produksi. Soalnya, yang sudah memiliki HQ, ilmu aglonya udah mumpuni.

  40. wah kalau di plaza senayan dan di plaza indoneisa dijual HQ dan di amigos dijual tango sama wiski, taruah ndeh bakalan laris manis yang tango sama wiski, Lagian saya ndak yakin harga HQ ndak bakal terseret ke bawah kayak SP Mas,

    Yang memiliki HQ sekarang jagoan propagasi itu prediski atau proven Mas? Misale dia dah proven dengan mempropagasi secara masal agla lokal?

  41. Wuih masih sekitaran plaza senayan sama plaza indonesia tohhh om, salam aja ma penjualnya ya om angkasa, kapan2 kalo ada rezeki numplek dari langit saya mampir keplaza.
    Salam,
    rachmad31
    ygkalobelanjamasihdipasarbecek

  42. Lagi-lagi pertanyaan yang sulit untuk dijawab.. Potensi HQ sendiri masih pro dan kontra. Yang mempunyai bilang excelent. Yang tidak punya sedikit mencibir, Biasa lah.
    Saya belum berani menilai apakah pemilik HQ itu sudah masuk kategori jagoan perbanyakan masal atau belum. Namun, sebagai gambaran, kalo dalam 1 pot ada 7–8 anakan pada saat beranak pertama kali, dan 16–23 anakan setelah yang kedua kali, apa belum layak disebut jagoan? Tapi ini bukan jenis HQ. Tapi Tiara.

  43. sangat jagoan Mas, meskipun baru terbukti beranak sampai 2 kali 😀

    tapi lawan yang mau diajak balapan kan yang sudah terbukti mempunyai 50 ribu tiara Mas? [menurut Mas Angkasa sendiri lhoh].

    Kalau banyak2an anak itu, dengan edi tansil adiknya Mas Dodi juga bisa bikin aglao bertunas banyak.

    Eh balik lagi ke topik awal, yang berita Pak Edhi bisa KJ tiara dan wiski itu beneran ndak sih Mas Angkasa? kan sebagai orang dalam trubus Mas Angkasa pasti mempunyai data yang shahih sebelum artikel itu beredar.

  44. Yang kita bahas HQ khan? Pekebun kita dan Thailand sama-sama baru mulai. Kalo Tiara dan Widuri, mungkin kita sudah kalah.. Tetapi dengan HQ belum tentu. Dengan ilmu baru, konvensional yang dimodifikasi itu, semoga kita tidak kecolongan lagi.
    Beranak sampai 2 kali, bukan itu yang saya maksud. Maksud saya setelah beranak pertama 8 anakan, dipanen, maka anakan yang kemudian muncul di bonggol itu mencapai 16 anakan. Setelah dipanen lagi, muncul 23 anakan. Nah kalo sekarang mereka mempunyai 5–10 pot HQ. Mungkin Mas Tomo bisa menghitung dengan deret ukur. Berapa jumlahnya 3–4 tahun kemudian. Selamat menghitung.

  45. Saya pun tersengat dengan kata-kata just another tiara.

    Dulu ada diskusi darimana istilah itu datangnya. Sama hal nya seperti penjelasan2 ‘mana layak koleksi’ dan mana yang JUST ANOTHER pretty flower, girls, car, etc, etc.

    Bahkan terakhir, Greg Hambali, mengakui kalau dia salah hanya memberi satu nama untuk Donna Carmen untuk aglaonema yang disilang pada 1986

    Besar harapan saya Mr. Samsu salah dengar. Sebab sekelas Mr. GH tahu persis seharusnya penamaan kultivar. Cubak deh Mr. Samsu google bentar dengan kata kunci ICNCP, ISHS atau yang tujuannya untuk dagang: UPOV – bagaimana tata-krama dan etika penyematan nama sebuah kultivar … Kacuali (H)anturium… ho ho ho.

    Bahwa, aglaonema lokal masih sulit diperbanyak dengan sistem kj. KJ itu alatnya mahal, sulit …

    Cubak liat lagi kisah ‘heroik’ KJ aglao Thai, terangkum dalam artikel ‘Tiga Punggawa Kerajaan Kaewkanjana’ by Mrs. Roosy (Trubus, Desember 2006, hal 26). Dari situ jelas tergambar – ndak lokal atau ndak import, semua butuh perjuangan.

    Kenapa lokal menjadi tambah sulit ? 1) Atas nama kegigihan, kita ndak punya orang macem Mr. Metha, Mrs. Kritaya dan Mr. Chirayu. 2) Secara bisnis ndak masuk akal. Bila masanya sudah masuk akal, contone JT 2000 di KJ Twyford dan menjadi Pink Saphire.

    sekarang ini kebanyakan pekebun lokal “banting setir” memperbanyak (mengebunkan) aglao lokal, Kenapa? Bahkan, justru pekebun di Thailand pun (Pairoj dkk).

    Istilah ‘peternak aglao lokal’ – oleh beberapa rekan justru dipakek bahan guyonan buat yang ndak mampu njual aglao. Bahkan temennya Mr. Tomo (yang punyak dapur) sempat berujar: ‘kebanggan petani itu bila bisa panen pak, bukan nanemnya !’ Ho ho ho … jelas lain lubuk lain belalang.

    Saya justru akan tersengat kaget kaluk Mr. Pairoj beternak HQ …….. ho ho ho Untung tiara dan widuri. Beliau pasti mbaca artikel Mr. Sembel tentang: ‘Investasi emosi’ (vide Trubus Desember 2007, hal 17).

    Ingat pulak nasihat Mr. GH : ‘kaluk hidangan di meja masih banyak kita boleh ikut mengantre. Namun kaluk makanan tinggal sedikit sementara yang antre banyak, saatnya kita keluar dari barisan’ (vide Trubus, Oktober 2007, hal 25).

    Lokal atau Import ?

    Kaluk masih belum jelas karena banyaknya polusi2 kepentingan, kata Mr. Amien Rais: ingat sepotong nasehat Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: ‘Mintalah fatwa pada hati nuranimu’.

    Ganggeng Kanyoet

    Mr. Zai : mudah2an yang di Somalia sana pada denger

  46. salam kenal pingin nyubak ikutan, saya jg seneng piara aglo . kebetulan punya t4 untuk kj. dah bs kj anggrek pingin nyubak aglo. kira2 bapake, ibune, mbake, mase ada yg bs kasih saran ttg medianya?sy sgt sueeneng swekali!

  47. Salam sukses buat semua…

    Ada yg hafal ga gimana membuat warna “BIRU” dgn bermodalkan cat Merah+Kuning+Hijau+Putih ?

    Nah… saya sudah menyilangkan aglo secara bertahap sehingga keempat unsur warna diatas terpenuhi.

    Bayangkan hasil silangan aglo yg saya lakukan mirip dengan Costatum Pideng tetapi unsur hijaunya menjadi “BIRU”, sedangkan bintik putihnya menjadi silver.

    Mohon saran… Aglo saya ini cocoknya diberi nama apa ?

    Terima kasih

    • Salam dari bandung!
      Wah beneran nih? salut buat bpk yang bisa buat aglo biru
      wah kebayang lamanya nyilanginnya butuh berapa lama dapaet agalo seperti itu?

      regard

      rian siregar

  48. salam sucses dari saya buat pak edhi, wah dari artikel di atas sangat menarik buat saya, dan ini menjadikan sumber inspirasi baru dalam dunia kultur jaringan, saat ini saya telah melakukan kulktur pada tanaman aglonema sesuai resep diatas selama 15 hari,1 minggu pertama kalus telah terbentuk tetapi belum sempurna,pada titik pembelahan sel tanaman yang berbentuk seperti butiran-butiran halus berwarna bening mengkilap itu terbentuk pada tunas muda pada 1cm eksplant hanya sayang pada hari ke 14 kalus itu layu di sebabkan oleh jamur,mohon inpormasinya terima kasih

  49. Ngikut nimbrung ah..boleh kan?!!

    mantab banget dah komen2 para senior berdebat ttg aglo lokal n aglo thai..
    Tapi yang bisa saya tangkap dari perdebatan diatas adalah seharusnya kita lebih “Percaya sama kekuatan kita sendiri daripada cuma ngandelin negara lain(image thai bwt saya ‘kata2nya tidak bisa dipegang”..soalnya kalo SEA GAMES Indonesia dicurangin mulu) kemudian lagih kalau nyari info yah nanya ke orang yang netral dong… udah jelas thailan tuh saingan kita please deh….

    Saya sendiri percaya dengan teknologi “KJ” semua masalah bisa diatasin n hanya dengan kegigihan sajah..negara ini bisa maju bukan hanya berada ditangan para spekulan”importir” nakal..tukang selundup(sebagian)!!

    Soalnya pegalaman dari rekan2 di luar nagri nan jauh disana mereka melakuakna kultur hanya untuk memenuhi stok indukan sajah, setelah itu mereka lakukan secara konvensional( jadi 50.000 tan dalam wktu cepat bisa terpenuhi dgn teknik perbanyakan kombinasi)….soalnya kalo di KJ terus tidak efisien dan kemungkina off-typenya lebih besar!!

    So berhenti lah untuk menakut2in ttg kj, jangan di takut2i kalo misalnya aglao tidak bisa diperbanyak dengan KJ atau susah diperbanyak dengan “KJ” tapi promosikan kalo “sangatlah mudah n murah tekno KJ” kenapa?karena LAF bisa diganti dgn Enkass…kemudian mediapro-analitik bisa diganti dengan bahan2 yang ada di dapur..kemudian hormon2 juga bisa disubtitusi..tinggal bereksperimen sajah!!

    Saya kira org thailan cara berpikirnya tidak sembrono n tidak bodoh juga, makanya daripada adu kebodohan mendingan adu kepintaran ajah

    “Sekali lagi jangan nakut2i ttg KJ” apalagi nakut2inya pake media cetak…. itu sama sajah dengan”Pembodohan publik/public full..ha..ha..ha(mbah surip)

    Salam bwt pak GK dan kawan2″

  50. wah-wah semakin rame saja, setiap orang punya sisi pandang masing2. Tapi bagi saya entahlokal ataupun non-lokal (Thai), yang penting tanam, bagus, subur (jadi enak dipandang), banyak anak dan laku dijual….serta ujung2nya menguntungkan. Itu lah yang membahagiakan hati (sperti saya yang pas2an). Saya punya aglao yang 80% asalnta dari thai (saya bawa sendiri dr sana) dan sisanya lokalan Tapi semuanya suur dan bagus2….ndak ada masalah.

  51. ass…..semuanya,setelah saya menyimak semua isi dalam ajang comment mengomentari……….banyak sekali yang ingin saya tanyakan tentang tanaman indah ini……tetapi entah kenapa sampai saat ini tidak ada lagi wejang wejangan dari para expert kita ini……segala macam ilmu yang telah dimiliki diharapkan sekali untuk menyiramkan hati dan menghilangkan rasa haus dahaga terhadap ilmu itu sebdiri,sama seperti kita menyiram tanaman kita agar tetap tumbuh segarrrrrr…..heeee kayak politisi yahhhh, jangan cuma berita2 tentang kesadisan dan tidak berperikemanusiaan saja yang selalu ada…..marilah kita kembangkan……budaya hijau dinegara kita ini….GO GREEN………..

    FLY


Leave a reply to tomo Cancel reply

Blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.